Pada bagian
sebelumnya kita telah mempelajari bahwa anak dan remaja lebih dikendalikan oleh
emosi-emosi mereka daripada pemikiran rasional dan logis. Emosi ini menjelaskan
mengapa anak dan remaja berperilaku demikian, termasuk pada perilaku yang
merusak diri sendiri. Jadi jika kita ingin memotivasi mereka, sebaiknya kita
pahami lebih dulu emosi yang mengendalikan mereka dan memanfaatkannya untuk
mengarahkan perilaku dan pemikiran yang lebih memperdayakan.
Berikut
adalah ketiga kebutuhan emosional anak:
1.
Kebutuhan untuk merasa AMAN
Salah satu kebutuhan terkuat yang dibutuhkan soerang anak adalah perasaan aman.
Aman didalam diri dan lingkungannya. Remaja mencari rasa aman dengan bergabung
dengan sekelompok “geng” atau sekumpulan teman sebaya mereka, terlibat
aturan sosial diantara mereka, serta meniru perilaku temannya.
Seorang
psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “lima bahasa cinta” mengatakan kita semua memiliki
tangki cinta psikologis yang harus diisi, lebih tepatnya jika anak maka
orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia
akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan
sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.
Perlukah kita
mempelajari dan mengetahui tangki cinta? Sangat perlu, saya seringkali
merekomendasi para guru dan orangtua untuk
mempelajari dan menemukan bahasa cinta anak mereka, dirinya dan pasangannya.
Hal ini akan saya bahas pada artikel berikutnya).
Contoh,
terdorong oleh rasa cinta kepada anaknya seorang ibu memarahi anaknya yang
sedang bermain computer. “berhenti maen computer dan belajar sekarang” lalu
apa yang ada dibenak anak? Mungkin “Hmpf… Ibu tidak sayang padaku, dan ingin mengendalikan aku serta
keasyikanku” Nah, anak menerimanya sebagai hal yang negatif,
komunikasi yang menghancurkan rasa cinta ini biasanya yang menjadi akar
permasalahan orangtua dan anak, serta guru.
“Mencintai
anak tidak sama dengan anak merasa dicintai”
Apa yang
menyebabkan kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi?
•
Membandingkan anak dengan saudara atau orang lain
Ketika kita mengatakan “mengapa kamu tidak bisa menjaga kebersihan kamar
seperti kakakmu”, “kenapa kamu tidak bisa menulis serapi Rudi”. Akan tumbuh
perasaan ditolak, tidak diterima, mereka akan berpikir “papa/mama lebih suka
dengan…” hal ini menumbuhkan sikap tidak suka dengan dirinya sendiri dan ingin
menjadi orang lain. Mereka merasa aman dengan menjadi orang lain, bukan merasa
aman dan nyaman menjadi dirinya sendiri.
•
Mengkritik dan mencari kesalahan
Ketika kita mengatakan: “dasar anak bodoh, apa yang salah denganmu? Kenapa kamu tidak
dapat melakukan sesuatu dengan benar?”
Dapat dipastikan, akan menimbulkan perasaan dendam, tidak ada rasa aman
dilingkungan rumah (jika hal ini sering terjadi dirumah).
•
Kekerasan fisik dan verbal
Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi, hal ini sudah banyak kita temui di surat
kabar dan berita ditelevisi, dan bahayanya atau akibatnya juga sering kita
temui di media tersebut. Jika tidak ada rasa aman dalam rumah, maka seorang
anak akan mencari perlindungan untuk memenuhi rasa aman mereka disemua tempat
yang salah. Dan anak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa aman ini,
mencari perhatian dengan cara yang salah.
2.
Kebutuhan akan pengakuan (merasa penting) dan diterima atau dicintai
Jarang sekali
orangtua membuat anak-anak mereka merasa penting dan diakui dirumah. Sebaliknya
banyak orangtua yang membuat anak mereka merasa kecil dan tidak berarti dengan
ancaman: “lebih
baik kerjakan PR-mu sekarang, atau…”
Apa yang ada
dalam pikiran anak jika diperlakukan seperti itu? Kita orangtua justru senang
jika anak melakukan hal yang kita perintah, tapi yang ada dipikiran anak adalah
mereka merasa kalah dengan melakukan apa yang diperintahkan orangtua dengan
cara seperti itu. Sehingga banyak anak yang menunda atau tidak mengerjakan apa
yang ditugaskan orangtua (bahkan dengan ancaman sekalipun) untuk memenuhi
kebutuhan emosionalnya akan pengakuan.
Peringatan
keras bagi orangtua: Jika anak-anak tidak merasa dicintai dan diterima oleh orangtua,
mereka akan terdorong untuk mencarinya disemua tempat yang salah.
Keinginan
seorang anak untuk diakui dan ingin dicintai begitu kuat, sehingga mereka akan
melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Jika mereka tidak mendapat pengakuan
dengan cara yang benar maka akan menemukan dengan cara yang salah dan ditempat
yang salah. Kebutuhan ini mendorong beberapa anak dan remaja untuk menggunakan
tato, mengganggu anak lain, bergabung dengan geng pengganggu, mengecat rambut
dengan warna menyolok, bertingkah laku seperti badut dan pelawak. Hal ini
umumnya menyusahkan mereka sendiri, tetapi demi mendapatkan pengakuan dan
diterima (mendapatkan perhatian).
Ada kasus
ekstrim pada 16 april 2007, seorang siswa US Virginia Tech, Cho Seng-hui.
Menembak dan menewaskan 32 siswa. Apa yang mendorong perilaku tersebut,
sehingga dia melakukan hal yang begitu luar biasa gila? Dia melakukan hanya
karena kebutuhan pengakuan dan rasa pentingnya begitu besar, tetapi tidak
terpenuhi oleh orang-orang yang mengabaikannya dan menghinanya. Hal itu
memaksanya keluar dari dunia logika dan merenggut nyawa orang lain serta
dirinya sendiri, dalam pikirannya dia berpikir lebih baik mati bersama nama
buruk dari pada hidup bukan sebagai siapa-siapa.
3.
Kebutuhan untuk mengontrol (merasa mandiri atau keinginan
untuk mengontrol)
Seiring
pertumbuhan anak, sembari mencari identitas diri dan sambil belajar membangun
kemandirian dari orangtua. Proses ini menciptakan
kebutuhan emosional untuk bebas dan mandiri.
Jadi itu
sebabnya anak tidak mau didikte untuk apa yang harus dilakukan. Mereka merasa
tidak “gaul”
mendengarkan orangtua. Dengan mendengarkan nasihat orangtua mereka seakan
diperlakukan seperti anak kecil. Ini menjelaskan mengapa anak lebih
mendengarkan teman mereka dan om atau tante (paman atau bibi) yang masih muda
dari pada orangtuanya sendiri.
Orangtua yang
cerdas, tidak akan menyerah menghadapi hal ini. Bagaimana caranya memberikan
arahan dan agar anak mau mendengar orangtua? Gunakan komunikasi yang tidak
bermaksud memaksa anak dengan nasihat kita. Buatlah seakan-akan mereka belajar dan bekerja
keras untuk diri mereka sendiri bukan untuk kita. mereka akan lebih bersemangat
dan termotivasi dengan cara seperti itu. Dan yang terpenting adalah memenuhi
tangki cinta anak kita setiap hari dan memastikan selalu penuh saat bangun anak
bangun tidur dan menjelang tidur. Dengan begitu anak tahu siapa yang paling
mengerti dan sayang, serta kepada siapa dia akan datang pada saat membutuhkan
seseorang untuk mendengar, yaitu kita orangtuanya.
Ambilah
manfaat dari informasi ini, kenali kebutuhan emosi anak kita. Pekalah dimana
saat anak membutuhkan penerimaan, kebutuhan untuk mengontrol sesuatu, serta
butuh untuk aman. Gunakan kata-kata yang tepat untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, berikut tips dan cara memenuhi kebutuhan emosi dasar seorang anak:
1.
Rasa aman:
• Tenang sayang kamu aman bersama papa, mama akan temani kamu, hey… papa disini
bakal jaga kamu sayang
2.
Rasa penerimaan atau dicintai:
• Biasakan menatap mata saat berbicara pada anak, usahakan
tatapan mata adalah datar atau “mata sayang”
• Sentuh bagian bahu saat berbicara atau bagian manapun asal sopan, untuk
menunjukan bahwa kita ada bersama dan dekat dengan anak
• Usahakan sejajar (berdiri sejajar dengan anak atau berlutut)
• Katakan: apapun yang terjadi papa/mama tetap sayang sama kamu, kamu tetap
jagoan papa/mama, dimata papa/mama kamulah yang paling cantik
3.
Kebutuhan untuk mengontrol:
• Jika memungkinkan, jika anda melihat anak anda perlu untuk melakukan sesuatu
sendiri maka ijinkanlah
• Sebenarnya itu adalah proses belajar untuk dirinya
sendiri dan akan sangat bermanfaat dimasa dewasa
• Harga diri anak akan semakin tinggi, jika kita rajin memberikan kontrol
kepada anak, karena anak merasa mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan
(tentunya kegiatan yang aman sesuai dengan kebijaksanaan orangtua)
• Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas dan memberikan kontrol dan
mengawasinya dengan kasih sayang, misal: anak umur 2-3 tahun minta makan
sendiri, pergi ke sekolah sendiri, dan lain-lain
Sumber : Pendidikan Karakter Anak, 2012