Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa
ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan
pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan
karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah
bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam
tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru
terbit berjudul Emotional Intelligence
and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai
hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap
keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko
penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan
ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa
percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan
berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata
80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan
oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan
emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi
akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di
sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di
dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak
tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih
mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain itu Daniel
Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik
karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan
aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan
pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di
Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru
ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai.
Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok
untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar
anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di
sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa“bodoh”
karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan
adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk“10
besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya
berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini
anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang
berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan
menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan
mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat
perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah,
dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.
Jadi, pendidikan
karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau
kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa
pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata
bijak dari pemikir besar dunia.
Mahatma Gandhi
memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without
character”(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah
berkata: “Intelligence plus
character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus
karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore
Roosevelt yang mengatakan: “To educate a
person in mind and not in morals is to educate a menace to society”(Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman
mara-bahaya kepada masyarakat)
Sumber : Pendidikan
Anak, 2012